MUHAMMAD BAQIR ASH-SADR

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaidah 1353H/1 Maret 1935 M dari keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Ismail, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, beliau berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Beliau mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, beliau mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.

Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya ‘Ushul ‘ilm al-fiqh (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas). Pada usia sekitar enam belas tahun, beliau pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun kemudian, beliau menulis sebuah ensiklopedi tentang ‘Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-’Ushul (pemikiran puncak dalam ‘Ushul). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Perjalanan Politik

Muhammad Baqir al Sadr adalah seorang revolusioner, baik secara pemikiran maupun pola gerakan yang dilakukan. Beliau dieksekusi pada bulan April 1980 oleh rezim Irak, karena pemikirannya secara terbuka menentang rezim pada saat itu dan atas dukungannya secara terbuka kepada Ayatullah Imam Khomeini pada revolusi diIran. Pemerintahannya sangat khawatir terhadap gerakan pemikiran yang dikobarkannya dan kebangkitan masyarakat melawan ketidakadilan yang dilakukan rezim  pada masa itu, demikian juga pemerintah Barat yang menjadi  underground rezim Irak sangat mengkhawatirkan keadaan tersebut dan secara terang-terangan mengancam gerakan pemikiran beliau yang sangat revolusioner.

 Dukungan dari Imam Khomeini terhadap gerakan yang dilakukan oleh Baqir Sadr dianggap sebagai ancaman terhadap rezim Irak, hingga ribuan orang ditangkap dan ratusan dieksekuasi tanpa adanya pengadilan. Sebagai pemimpin gerakan yang mendapat dukungan penuh, beliau muncul sebagai seorang pemimpin yang mampu menjadi katalis bagi perjuangan rakyat Irak, dan karena kegigihan dan prinsip-prinsip yang dipegangnya beliau dijuluki sebagai “Khomeini masa depan” dari Iraq.  Rezim Ba’thist pada akhirnya memutuskan bahwa beliau harus dihilangkan dari bumi Irak jika kekuasaannya ingin bertahan.  Sehingga dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan rezim Ba’thist pada saat itu adalah kesewenang-wenanganan, karena eksekusi yang dilakukan hanyalah menunjukkan keotoriteran penguasa dan bukan karena proses peradilan yang dilakukan.

Daya tarik politik Islam menjadi ancaman yang sangat membahayakan kekuasaan pada saat itu sebab Islam dalam wacana politik memiliki akar dan prinsip-prinsip yang kuat  dan mendasar. Hampir semua negara Timur Tengah, semua kelompok pejuang politik Islam memiliki tujuan yang sama untuk menciptakan tatanan Islami dalam bernegara dan bermasyarakat.

Beberapa organisasi, termasuk Partai Dakwah Islam yang didirikan Sadr, telah ada di Irak sebelum revolusi Islam di Iran dan rezim Ba’thist di Irak. Sadr juga menjadi inspirator dalam program-program yang bertujuan untuk menegakkan ajaran Islam, bukan hanya di Irak tetapi di seluruh dunia Islam. Beliau memerankan gerakannya melalui komunitas Syiah di Irak untuk menghadapi berbagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu.

Popularitas Baqir Sadr.

Pada tahun 1958, terjadi kekacuan dan kudeta militer di Irak sehingga mengubah sistem politik dan tatanan sosial. Dalam rekayasa yang dilakukan oleh pasukan pemerintahan Inggris, kerajaan diganti dengan “republik” pada tahun 1921 dibawah kekuasaan mliter. Keluarga kerajaan dan para penguasa dieksekusi. Jenderal Qasim (pemimpin militer) yang telah memimpin pemberontakan memperoleh banyak dukungan. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini disebabkan karena kebijakannya memisahkan Irak dari Ingggris dan keberaniannya dalam menarik diri dari aliansi Cent yang kemudian dkenal sebagai “Pakta Baghdad” serta menutup pangkalan militer Inggris.

Berbagai kelompok politik mencari posisi pada penguasa baru. Diantaranya Partai Komunis yang terorganisir dengan baik diberi tempat oleh penguasa baru tersebut. Dalam perjalanan politiknya jenderal Qosim mengatasnamakan Komunias untuk melenyapkan rekan-rekan yang setia kepada gerakan nasionalis Arab. Pertempuran banyak terjadi terutama dikota-kota Mosul, Kirkuk dimana gerakan nasionalis mencoba melakukan kudeta militer.

Gerakan politik Islam terhadap Inggris tahun 1920 mendapatkan tantangan  oleh kekuatan politik atheis. Apabila hal ini tidak terkendali, akan menutup kemungkinan Islam dalam kehidupan masyarakat mengalami degradasi atau bahkan akan dibumihanguskan oleh penguasa. Sebab pada masa itu penguasa sangat menyambut baik program sekulerisme dan sentimen terhadap anti rezim baru dan menerima seluruh propaganda yang dilakukan oleh komunis yang menganggap bahwa agama  sebagai hambatan bagi proses modernisasi dan kemajuan rakyat. Pasukan Komunis kemudian mulai menembus lembaga agama di kota-kota suci Najaf, Karbala dan Khadhimiyah, bahkan merekrut anggota keluarga religius. Namun demikian Pemimpin agama dibawah mujtahid Muhsin Al Hakim mengambil langkah cepat mengatasi tantangan ini.

 Terdapat dua kelompok sarjana di Al-Hawza al-Ilmiyya (agama akademi) yaitu sarjana tradisional yang menganjurkan ketidakpedulian atau sikap acuh tak acuh terhadap politik dan aktivis yang mendukung keterlibatan dalam kancah politik. Kelompok kedua ini mengorganisir diri ke dalam al-Ulama Jama’at ‘di Najaf untuk melawan anti-perubahan dalam masyarakat. Muhammad Baqir al-Sadr pada waktu itu seorang sarjana muda dan belum dianggap sebagai anggota resmi dari Al-Ulama Jama’at ‘yang terdiri  dari orang tua dan para  mujtahid terkenal. Namun demikian beliau mampu memberikan pengaruh pada kelompok tersebut melalui ayah mertuanya Murtaza Syaikh Al Yasiyn, yang bertindak sebagai pemimpin kelompok, dan melalui kakaknya, Ismail al-Sadr, seorang mujtahid yang memegang posisi senior di Jemaat tersebut.

Menurut Thalib al-Rifa’i mengatakan bahwa Jama’at al-Ulama berani melawan tantangan Komunis demi perjuangan Islam. Dalam manuver politik yang dilakukan, mereka cukup realistis sebagai upaya menenangkan Qasim,. Tulisan yang disebarkan melalui selebaran dan pengumuman, menunjukkan bahwa mereka mendukung Qasim akan tetapi menyerang Komunis. Sebagai hadiah atas keberpihakannya tersebut, rezim Qasim memberikan mereka akses ke radio yang dikuasai pemerintah. Selanjutnya oleh Sadr membuat pernyataan publik mingguan al-Ulama Jama’at ‘yang ditulis  dan disampaikan oleh Hadi al-Hakim.

Namun demikian ketenangan ini tidak berlangsung lama. Konflik antara kepemimpinan agama dan Qasim meletus ketika Ayatullah Muhsin al-Hakim mengeluarkan fatwa bahwa Komunisme diidentifikasi sebagai ateisme dan melarang Muslim bergabung dengan Partai Komunis atau menjadi penyebab perkembangannya. Fatwa tersebut membuat pemerintahan  Qasim merasa malu dan memaksa Jenderal Qasim untuk meninggalkan Partai Komunis Irak.

Selama dua tahun Jama’at al-Ulama telah diberikan izin untuk mempublikasikan sebuah jurnal bulanan Al-Awa’ (Cahaya), yang mempunyai tujuan untuk melawan propaganda anti-sekuler dan secara intens mengikuti perkembangan revolusi 1958 . Menurut Thalib al-Rifa’i, Muhsin al-Hakim telah memberikan saran tentang hal itu, tapi tidak dapat mensponsorinya dalam ruang publik politik. Pada akhirnya Jama’at al-Ulama’ meminta  Sadr untuk  menulis yang bertujuan untuk menjelaskan dasar program politik  dari gerakan Islam, dan dalam perjalanannya kemudian beliau dikenal memiliki bakat menulis persuasif.

Selama periode yang sama, Sadr menerbitkan studi pertama filosofis, Falsafatuna (Filosofi kami; 1959), 13 kritik komunisme, sekolah pemikiran materialis, dan materialisme dialektika, di mana Sadr berpendapat, bahwa komunisme terlalu memiliki banyak kelemahan dan kekurangan untuk dianggap sebagai kebenaran terakhir bagi umat manusia. Dan itu tidak bisa menjadi jawaban pada permasalahan masyarakat karena asumsi dasarnya adalah palsu.. Tulisan yang lain, Iqtisaduna (Ekonomi kami; 1961), mengkritik teori ekonomi komunisme dan kapitalisme dan memperkenalkan teori ekonomi politik Islam dalam upaya untuk melawan argumen dengan sekularis dan komunis bahwa Islam bukan tidak memiliki solusi untuk masalah-masalah manusia modern. Gagasan utama Sadr dalam Iqtisaduna adalah menunjukkan bahwa Islam prihatin dengan kesejahteraan ekonomi manusia. Prestasi besar dalam gagasan intelektualnya  adalah formulasi tentang doktrin ekonomi Islam yang didasarkan pada hukum Islam, dan beliaulah  orang yang pertama kali merumuskan gagasan tersebut.

Sadr dan rekan-rekannya juga dihadapkan pada kekuatan sekuler pada masa mendatang melalui pembentukan Partai Dakwah dan Journal ‘Awa. Menurut Thalib al-Rifa’i, partai tersebut didirikan oleh Mahdi al-Hakim, al-Rafi’i dan lainnya tanpa diketahui orang orang banyak. Al-Rafi’i kemudian memperkenalkan Sadr sebagai pimpinan partai, dan akhirnya memainkan peran penting dalam membentuk struktur , doktrin partai, dan kemudian sebagai ahli hukum yang tertinggi (faqih al-hizb). Bahkan nama partai, Dakwah (“Panggilan”), merupakan gagasan Sadr. Tujuan Dakwahnya adalah untuk menghimpun orang Muslim yang berdedikasi dengan tujuan merebut kekuasaan dan mendirikan negara Islam. Untuk mencapai tujuan itu akan dilakukan dengan mengindoktrinasi secara revolusioner melawan rezim korup, mendirikan sebuah negara Islam; menerapkan hukum Islam dan mengekspor revolusi Islam ke seluruh dunia. Rencana besar ini merupakan gagasan Sadr. Tahap pertama harus mengamankan partai terhadap tindakan keras, sehingga partai ini diorganisir dalam struktur multi-cabang secara hirarkis. Kegiatannya tidak terbatas hanya ke Irak, tetapi juga diluar komunitas Syiah lainnya di seluruh dunia. Untuk itu akhirnya dibentuk cabang-cabang di negara-negara Teluk dan di Libanon; upaya untuk membentuk mereka diIran tidak berhasil.

Kembali ke Hawza

Pada tahun 1960, Sadr adalah salah satu mujtahid terkemuka di sekolah agama Najaf dengan keahliannya dalam yurisprudensi (fiqh dan ushul al-fiqh). Senior-nya di Hawza menasihatinya untuk menyerahkan peran politik dalam partai Dakwah, sebab dapat merugikan kepemimpinannya dalam Hawza serta diminta untuk mempersiapkan diri pada pemilihan marja’ dari Syi’ah (sebab hawza tidak akan menerima mujtahid aktif untuk posisi besar marja’, setidaknya bukan anggota partai politik) .

Para marja’ biasanya dipilih dari kalangan mujtahid terkemuka di fiqh dan ushul al-fiqh, dan kandidat harus membuktikan kapasitasnya di daerah-daerah dengan menggunakan metode Sokrates dalam mengajar dan dengan menerbitkan pendapat hukumnya. Baqir Sadr memiliki prospek menjadi marja besar. Namun demikian posisinya sebagai aktivis gerakan politik akan  membuat  beliau selalu dalam bahaya. Sadr mendapat tekanan untuk menyerahkan kegiatan politiknya, terutama dari marja  Muhsin ‘al-Hakim,  namun demikian banyak faksi di Hawza yang tetap menganggap penting aktivitas Sadr.

Selanjutnya melalui Hussein al-Safi, kampanye publik terhadap Sadr mulai dibuka, dan kegiatan ini dianggap berbahaya bagi kelangsungan hidup Hawza. Sehingga terdapat kelompok tertentu dalam Jama’at yang mendapat pengaruh untuk melawan Sadr. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap Sadr sebagai editorial. Kemudian muncul pertanyaan yang cukup mengganggu: yakni dalam judul  Risalatuna (Pesan kami).  Sebagian orang yang tidak setuju dengan Sadr mempertanyakan apakah mereka mewakili pandangan Jama’at atau tidak sama sekali. Akhirnya, pada tahun 1961 Muhsin al-Hakim, melalui putranya Mahdi, membujuk Sadr untuk menyerahkan jabatannya sebagai faqih partai Dakwah dan sebagai editor Awa ‘.

Setelah pengunduran dirinya Sadr membatasi dirinya dengan cara hidup tradisional di Hawza, menghindari kegiatan yang mungkin membahayakan statusnya sebagai marja’. Dia bahkan menunda penerbitan buku untuk waktu yang lama, Mujtamacuna (Masyarakat kami) karena, menurut beberapa sumber, waktu itu belum matang untuk diterbitkan. Menurut anggota partai Dakwah, bagaimanapun, Sadr harus terus berhubungan dengan partai, dan akhirnya hal itu dilakukannya melalui salah satu dari muridnya

Gairah Sadr dalam reformasi selanjutnya diarahkan pada hawza sendiri. Pertama yang dilakukan beliau adalah memodernisasi kurikulum. Di Najaf kurikulum hawza hanya menekankan pada fiqh dan ushul al-fiqh,  karena itulah Najaf tercatat  sebagai tempat studi Islam yang dianggap kecil dan kurang diperhitungkan, disamping itu perhatian terhadap para guru hawza itu juga sangat minim.

Sadr juga gelisah atas kehadiran siswa yang tidak teratur dan cenderung mengabaikan studi mereka. Beliau merasa bahwa siswa harus menyelesaikan program secara disiplin dan matang sebelum mereka dapat mengklaim sebagai ulama. Untuk upaya pembenahan ini, beliau mengusulkan buku dan wacana-wacana baru bagi siswa. Sebuah buku, menurut Sadr, harus mempertimbangkan kemampuan siswa untuk memahami subjek secara bertahap dari konsep dasar untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan. Rencana Sadr selanjutnya tidak hanya menggunakan buku teks yang biasa digunakan di lembaga-lembaga akademis modern, tetapi juga mensyaratkan siswa menyelesaikan kursus (skill) tertentu dan lulus ujian reguler.

Untuk melaksanakan reformasi, Sadr membantu mendirikan Ushulal-Din College di Baghdad pada tahun 1964 dan membuat kurriculum. Kemudian beliau menulis tiga buku mengenai Alquran, ushul al-fiqh, dan ekonomi Islam Namun, usahanya untuk melaksanakan reformasi di Hawza sendiri menghadapi perlawanan keras dari mahasiswa dan para guru di hawzah yang tidak sepakat dengan gagasannya.

Tahun 1964-1968 adalah “era emas” bagi perkembangan syiah modern, pertama karena rezim Ba’thist-Arif merasa berhutang kepada pembentukan partai yang membantu dalam mendiskreditkan dan menggulingkan rezim Qasim dan kedua karena rezim baru ini memperoleh legitimasi dari para pemimpin Syiah yang mendukung penumpasan mereka terhadap pasukan komunis di negara itu (ironisnya, kebanyakan dari mereka juga dituntut termasuk  Syiah). Islam menikmati kebebasan selama periode yang dihasilkan dari perjuangan terus menerus antara Ba’thists dan Arif, antara nasionalis Arab dan Komunis, dan di antara Ba’thists sendiri.

Ketika mendapatkan kebebasan dari campur tangan pemerintah,  partai dakwah meningkatkan keanggotaannya didalam dunia akademis (universitas) dan di kalangan inteligensia. Menurut sumber-sumber Dakwah, lebih dari 1.500 salinan resmi Dakwah, jurnal, AWT al-Dakwah, dibagikan kepada anggota dan pendukungnya di University of Baghdad sendiri. Siswa menunjukkan komitmen mereka dalam barisan yang dikenal sebagai al-alaba mawakb (prosesi siswa) di Karbala pada peringatan tahunan kemartiran dari Imam Husain. Al-Hakim memperluas pengaruhnya dengan cara meningkatkan partisipasi dalam Hawza di Najaf dan mengembangkan rencana untuk mendirikan akademi Syiahg gaya Barat di Kufa, di mana pendidikan tinggi akan menjadi tersedia bagi pemuda Syi’ah yang suatu hari nanti akan berpengaruh dalam urusan politik. Dia juga mendirikan pusat agama baru dan perpustakaan di beberapa kota-kota Irak. Para ulama Baghdad dan Kadhimiyah terorganisir dalam asosiasi, mirip dengan al-Ulama Jama’at ‘di Najaf, yang dikenal sebagai Jama’at al-Ulama Hay’at’ fi Baghdad wa al-Kadhimiyah.

Konfrontasi dengan Partai Ba’ts

Kenaikan rating Partai Ba’ts pada proses peraihan kekuasaan tanggal 17 Juli 1968 memulai fase baru dalam konflik antara para pemimpin Syi’ah, Muhsin al-Hakim dan Muhammad Baqir al-Sadr, dan pemerintah pusat di Baghdad. Rezim menghadapi dua pemimpin, yang keduanya memiliki karisma dan pengaruh politik, al-Hakim melalui kepemimpinan simbolis dari seluruh dunia Syi’ah, dan Sadr melalui pengaruhnya terhadap dakwah tersebut. Stabilitas rezim baru tergantung pada upaya meredam pengaruh mereka. Langkah pertama yang dilakukan adalah membatasi kekuasaan Syiah dan membatasi kegiatan keagamaan mereka, termasuk juga penutupan sekolah-sekolah dasar dan Jawadayn tinggi dan Usul al-Din kuliah diBaghdad, menyita tanah dan dana yang disisihkan untuk membangun Universitas Kufah, mematikan Risalt al-Islam, jurnal agama. Dan  pemerintah hanya mengizinkan penerbitan pada waktu itu, melarang mawakb al-Talaba diKarbala, mengusir ratusan siswa non-Irak dari hawza di Najaf, dan mengeluarkan hukum yang mengharuskan Irak menghadiri hawza untuk bergabung dengan angkatan bersenjata.

Para pemimpin Syi’ah kurang waspada dan rezim Ba’ts berusaha menangkap mereka. Tidak menyadari rencana Ba’athist untuk menghilangkan struktur politik dari masyarakat Syiah, para pemimpin bertemu untuk menemukan cara-cara damai dengan pemerintah dan menghentikan protes dari publik. Para Hay’at al-Ulama ‘menyatakan bahwa Muhsin al-Hakim mengunjungi Baghdad untuk memobilisasi dukungan Syi’ah terhadap pemerintah.  Al-Hakim bertempat tinggal di Kadhimiyah untuk menerima pendukung; Sadr pergi ke Lebanon untuk mengatur protes dari luar negeri dan menggunakan kantor Syi’ah dewan tertinggi yang dipimpin oleh sepupunya Musa al-Sadr untuk kampanye melawan pemerintah Irak. Telegram dikirim oleh Musa al-Sadr kepada para kepala negara-negara Islam dan kelompok Islam meminta perhatian pemerintah Ba’athist atas pelecehan kepemimpinan agama di Najaf. Upaya yang dilakukan sangat mengecewakan. Hanya Nasser dari Mesir, Faisal dari Arab Saudi, Iriyani Utara Yaman, dan Jama’at-i Islami Abu al-A’la Maududi di Pakistan memberikan dukungan moral apapun, tetapi tidak ada yang bertindak.

Sekembalinya ke Irak, Sadr, dengan bekerjasama dari Jama’at Najaf , Baghdad dan Hay’at Kadhimiyah, mengadakan pertemuan umum di tempat suci Imam Ali di Najaf untuk mendukung al-Hakim dan mengutuk Ba’thist yang bertindak selaku pemerintah. Pernyataan yang disampaikan kepada khalayak kepada Mahdi al-Hakim telah disusun oleh Sadr. Langkah berikutnya yang akan diambil terhadap pemerintah, menurut Murtadā al-Askari, adalah mengorganisir demonstrasi massa di Baghdad dalam mendukung al-Hakim. Namun, sebelum rencana itu dilakukan pemerintah Ba’thist mengumumkan bahwa Mahdi al-Hakim telah merencanakan untuk menggulingkan pemerintah dalam kudeta militer dengan bantuan dari beberapa jenderal dan pengusaha Syi’ah yang memiliki hubungan ke Iran dan Barat (Amerika Serikat dan Israel) . Tuduhan ini memposisikan pemimpin Syiah untuk mendapat dukungan mereka. Mahdi al-Hakim selanjutnya dibawa ke luar negeri; al-Askari pergi ke Libanon, dan Muhsin al-Hakim kembali ke Najaf di mana dia meninggal beberapa bulan kemudian. Penggantinya Ayatullah Khoei, guru Sadr, tidak mengambil tindakan apapun terhadap pemerintahan  Ba’thist.

Setelah Muhsin al-Hakim meninggal, pemerintah Ba’ts meningkatkan upaya untuk mengurangi pengaruh Hawza di Najaf dengan mengusir mahasiswa non-Irak (sebagian besar mahasiswa asing) dan pemantauan terhadap mahasiswa Irak tersebut selanjutnya  menciptakan kekacauan didalam Hawza. Untuk menjaga siswa non-Irak di dalam negeri sehingga mereka bisa membantu melawan pemerintah, Ayatullah Sadr meyakinkan Khoei mengeluarkan perintah (hukum) kepada siswa untuk tinggal di Najaf dan terus belajar. Karena tidak mau memusuhi Syiah marja ‘ baru Ayatullah Khoei, yang dianggap memiliki posisi politis, pemerintah menerapkan kebijakan Ba’ts untuk menunda deportasi tersebut. Rezim Ba’thist kemudian mulai melakukan tindakan terhadap partai dakwah. Banyak orang yang diduga anggota partai dikumpulkan pada tahun 1972 dan dijatuhi hukuman satu sampai lima tahun. Sahib Dakhiyl, dikenal sebagai Abu Cisam, mati karena disiksa pada tahun 1973. Dia adalah penyelenggara prosesi mahasiswa yang diadakan di Karbala dan juga diyakini telah menjadi ketua partai Dakwah di Baghdad. Setahun kemudian, sekitar tujuh puluh lima anggota partai Dakwah, beberapa dari ulama ditahan oleh pasukan keamanan, dan saat diyakini pemimpin partai Dakwah, kemudian dijatuhi hukuman mati. Selanjutnya Sadr mengeluarkan fatwa yang melarang mahasiswa atau sarjana dari Hawza untuk bergabung dengan partai politik. Belakangan tahun itu, Sadr sendiri ditahan oleh pasukan keamanan dan diambil dari Najaf ke Baghdad untuk diinterogasi, tapi segera dibebaskan.

Dalam era pasca-Hakim, Sadr diakui dalam Hawza sebagai marja dan pewaris dari marja ‘Ayatullah Khoei. Namun, ia sadar bahwa marja’iyya para Syiah’ bukan kepemimpinan politik, sebab tidak memiliki fondasi kelembagaan yang memadai. Secara khusus, tidak memiliki sarana menegakkan keputusan pada jajaran ulama ‘. Selain itu, kebijakan dibuat secara tradisional dan setelah tiba pada keputusan menggunakan sistem rekan dekat dan anggota keluarga untuk menghimpun informasi, pernyataan masalah, dan mendistribusikan dana keagamaan. Tidak ada prosedur formal untuk membuat keputusan atau perencanaan strategi jangka panjang, hal ini sering mengakibatkan kebingungan yang memperlemah hubungan antara marja’iyya dan orang-orang yang mengikutinya.

Untuk meningkatkan kekuatan marja’iyya, Sadr mengemukakan, bahwa harus dilakukan sebuah perubahan dari apa yang disebut “marja’iyya subyektif” menjadi “marja’iyya obyektif.” Menurut Sadr, Marja harus melakukan urusannya untuk membimbing umat dengan menggunakan struktur terorganisir, membentuk komite untuk mengelola urusan pendidikan di hawza, menulis pada mata pelajaran penting, memiliki wakil ‘marja di kota-kota lain yang berfungsi untuk mendukung gerakan Islam dan   mengatur urusan terkait dengan keuangan.

Namun pada waktu itu Sadr belum siap untuk membentuk struktur kelembagaan “marja’iyya obyektif” karena beliau bukan marja tertinggi ‘, yang menjadi otoritas simbolis untuk penganut mazhab Syiah, dimana posisi tersebut akan memberi legitimasi dalam melaksanakan perubahan.  Sadr memiliki motif politik pada pemilihan dalam marja’iyya. Beliau berpikir hal itu akan melindunginya dari tuntutan pemerintah. Begitu beliau berada pada posisi marja’, maka pemerintah akan merubah cara pandang terhadap dirinya terkait dengan posisi politiknya, sebab rezim di Irak dan Iran tidak akan mengeksekusi ahli hukum terkemuka.

Sebagai contoh adalah keputusan Syah untuk tidak mengeksekusi Ayatullah Khomeini setelah marjic di Qum mengeluarkan pernyataan bahwa Imam Khomeini sebagai salah satu dari mereka. Sebaliknya Shah dikeluarkan oleh Khomeini dari Iran. Dalam mengumumkan marja’iyya nya, Sadr entah bagaimana menurut beliau akan  memperoleh kekebalan politik. Selanjutnya dilakukan publikasi mengenai Sadr melalui al-Fatawa al-Wadiha.  Pengagum Sadr selain  anggota Dakwah, kebanyakan dari kalangan mahasiswa dan intelektual mulai merujuk kepadanya sebagai marja mereka sekaligus pemimpin.

Pada awal 1977 rezim Ba’ts mengambil langkah berani untuk membatasi Syiah dan melarang upacara tahunan memperingati kesyahidan Imam Husain. Rezim telah mencoba tetapi gagal untuk melarang mereka sejak 1970, terutama di Najaf dan di Karbala. Tahun itu, kepemimpinan Ba’ts bertekad untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk menghentikan prosesi tradisional dari Najaf ke Karbala, suatu peristiwa yang menghasilkan semangat keagamaan yang luar biasa. Puluhan ribu Syiah dari seluruh Irak berpartisipasi dalam ibadah haji, yang biasanya memakan waktu empat hari dengan panjang arakan sekitarlima puluh mil. Aktifitas semacam ini oleh rezim dianggap  sebagai penghalang kebijakan mereka terhadap sekularisme dan memberikan ruang terhadap otoritas agama dengan dukungan rakyat.

Menyambut pelarangan terhadap prosesi keagamaan tersebut, rakyat melakukan demonstrasi dengan memegang spanduk yang bertuliskan ayat-ayat dari Al Qur’an, semisal “Kuasa Allah adalah di atas mereka” dan “Kemenangan akan datang dari Allah.”
Dihadapkan dengan tantangan ini, penguasa menemui pemimpin demonstran dan meminta bantuan Muhammad Baqir al-Hakim, yang memberitahu Syiah bahwa rezim bersedia untuk mencabut larangan pada prosesi jika para perusuh akan berhenti bernyanyi slogan-slogan anti-pemerintah.

Namun, sentimen anti-Ba’thist begitu kuat sehingga saat itu kompromi menjadi mustahil. Pasukan brigade militer memblokir jalanan jalan kekota Karbala dengan tank, helikopter, dan jet tempur. Ratusan demonstran berhasil memasuki  kota, namun, karena banyak perwira dan prajurit bersimpati dan tidak mau mematuhi perintah pemerintah untuk menembak orang-orang yang meneriakkan slogan agama akhirnya pemerintah mengerahkan keamanan Partai Ba’ts dan polisi untuk menekan prosesi di jalan-jalan Karbala dan menahan berapapun jumlah orang yang bisa ditahan. Pada akhirnya ratusan orang dipenjara, dan banyak yang terluka.

Selanjutnya pemerintah membentuk sebuah pengadilan revolusioner khusus (al-thawra makamat) dipimpin oleh tiga pejabat tinggi Partai Ba’ts. Tujuh orang dijatuhi hukuman mati dan lima belas dipenjara, termasuk Muhammad Baqir al-Hakim, penjara seumur hidup. Insiden ini juga menyebabkan perpecahan dalam kepemimpinan Ba’ts sendiri. Beberapa pejabat tinggi anggota partai menilai tindakan tersebut terlalu keras dan sebagian tampak ragu-ragu dalam mengambil tindakan tegas.

Rezim menganggap bahwa Baqir Sadr memiliki peranan penting dalam demonstrasi. Sebab nampak sekali bahwa demonstrasi terorganisir dengan baik, yang menunjukkan bahwa Partai Dakwah berada di belakangnya. Al-Hakim adalah murid dan wakil pribadi Sadr dan mewakili proses negosisasi yang dilakukan dengan pemerintah. Namun kegagalannya untuk memperoleh kesepakatan menyudutkan Sadr menjadi tersangka utama. Hal ini mengindikasikan  adanya sebuah konspirasi. Pasukan keamanan rezim menahan Sadr dan mengirimnya ke Baghdad untuk diinterogasi, namun kemudian melepaskannya agar tidak memicu kerusuhan lain dengan Hawza ketika orang-orang menuntut pembebasan atas beliau.

Pertemuan dengan Partai Ba’ts : Episode Akhir

Para pemimpin rezim Ba’ts berpikir bahwa tindakan mereka pada tahun 1977 telah mengakhiri oposisi agama selama bertahun-tahun mendatang, tetapi ternyata revolusi di Iran pada tahun 1978 menghidupkan kembali upaya melawan Shah dan revolusi dipimpin oleh para pemimpin agama di Najaf. Syi’ah kembali di tengah panggung politik, Ayatollah Khomeini, pemimpin pemberontakan Iran, telah tinggal di Najaf selama empat belas tahun terakhir.

Revolusi di Iran menunjukkan bahwa rezim yang menindas dijalankan oleh aparat keamanan yang  didukung oleh intelijen Barat, dan bahwa ideologi Islam harus mampu memimpin massa dalam membangun sebuah tatanan negara Islam. Langkah-langkah penindasan rezim berubah menjadi sarana untuk mencapai kemenangan. Revolusi di Iran disajikan sebuah skenario politik menarik untuk kaum revolusioner muslim. Dan Syiah Irak adalah yang pertama kali menirunya.

Sadr memperhitungkan beberapa langkah politik dengan  kebijakan tanpa menentang rezim Irak melainkan dengan cara menunjukkan komitmen dan dukungannya terhadap revolusi Iran. Beliau pertama kali mengirim sebuah pernyataan panjang untuk rakyat Iran ketika Khomeini di Paris, dan menyatakan dukungan serta memuji perjuangannya. Sekembalinya Imam Khomeini ke Iran, Mahmood Al Sadr mengirim Hashimi, salah seorang murid terdekatnya untuk Iran sebagai bentuk dukungan.

Kedua tindakan itu dianggap oleh rezim Irak sebagai pelanggaran yang nyata Selanjutnya, Sadr menentang pemerintah Ba’ts dan mendukung pemberontakan penduduk Arab di Iran, serta meminta orang-orang Arab untuk mendukung negara Islam yang akhirnya akan memenuhi hak-hak politik dan etnis mereka. Dalam salah satu pesan kepada rakyat Iran, Sadr menyerukan orang-orang Arab di Iran untuk mematuhi pemimpin revolusi karena republik Islam mewakili negara yang didirikan oleh Nabi di mana orang-orang dari kebangsaan yang berbeda dan latar belakang etnis bisa hidup secara damai.

Sadr kemudian menerbitkan enam esai mengenai dasar negara Islam yang kemudian dikumpulkan di bawah judul al-Islam al-Hayat Yaqwad (Islam mengatur hidup). Dalam risalah ini ia menguraikan struktur negara Islam, fungsi dari masing-masing cabang pemerintah, tanggung jawab ‘marja di negara bagian, dan legitimasi otoritas mutlak menurut Islam Syi’ah. Risalah yang ditulis tampaknya memiliki dampak besar pada penulis konstitusi Republik Islam Iran. Disamping itu gagasan dan pandangan Sadr yang memberikan pengaruh besar adalah gagasan mengenai struktur negara Islam, prinsip-prinsip negara Islam dan struktur ekonomi Islam,

Selanjutnya langkah Sadr paling berani dalam melawan rezim itu ialah dengan mengeluarkan fatwa yang melarang Muslim bergabung dengan partai Ba’ts atau organisasi afiliasinya, langkah tersebut sangat berbahaya bahkan beberapa perwakilan Sadr di kota-kota Irak ragu-ragu untuk mempublikasikan berbagai hal karena mereka takut akan keselamatan mereka sendiri dan untuk kelangsungan hidup Sadr. Sehingga untuk menyampaikan fatwa tersebut  Sadr berusaha mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan selama khotbah rutinnya di Hawza tentang partisipasi dalam partai Ba’ts.

Ayatullah Khomeini, mengandalkan sumber-sumbernya di Najaf, menyiarkan pesan kepada Sadr menyerukan kepadanya untuk tinggal di Hawza dan tidak meninggalkan Irak. Meskipun Sadr menyadari bahwa beliau akan menghadapi penahanan atau mungkin eksekusi, beliau  tidak berencana untuk meninggalkan Iraq. Imam Khomeini mendukung Sadr,  dan hal ini memicu gelombang demonstrasi publik di kota-kota Irak mendukung Baqir Sadr dan memuji Imam Khomeini.  Najaf adalah kota paling bergolak, dan terdapat utusan yang  diterima oleh Sadr. Sadr mengatakan kepada para pengikutnya untuk menghentikan demontrasi, Sadr tidak ingin mereka terkena sangsi oleh rezim. Beliau mengatakan kepada salah satu anggota Dakwah bahwa terdapat bahaya yang tersembunyi, sehingga harus menggunakan tindak pencegahan dan kehati-hatian dalam seluruh tindakan.

Dan hal tersebut terbukti, tak berapa lama kemudian pemerintah, menangkap Sadr  dan memulai tindakan keras. Perwakilan Sadr dan ratusan anggota Dakwah ditangkap dan dipenjara atau dieksekusi. Sadr sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad. Kakaknya, Amina al-Sadr yang dikenal sebagai al-Huda Binti, pergi ke tempat suci Imam Ali dan memberikan pidato berapi-api mendesak orang untuk berdemonstrasi melawan pemerintah dan melindungi pemimpin mereka. Berita penangkapannya menyebar, kerusuhan pecah di Baghdad, Basra, Diyala, Samawa, Kuwt, Diwaniyya,Karbala, dan kota-kota lainnya. Bazar di Najaf ditutup; penduduk bentrok dengan polisi. Seluruh kota tampak dikepung sebagai upaya pemerintah meningkatkan keamanan. Penyebaran kekerasan di negara itu memaksa rezim untuk membebaskan Sadr hari berikutnya.

Kehadiran Baqir Sadr menjadi ancaman bagi kelangsungan rezim. Oleh karena penguasa bertekad untuk melenyapkan beliau dari kawan-kawannya, ulama seniornya dan jajaran partai dakwah. Aktivis Muslim ditahan secara massal, disiksa, dan dieksekusi. Masjid para ulama ditutup. Bahkan beberapa tokoh ulama ‘yang biasanya bekerja sama dengan rezim dan mendukung kebijakan ditahan. Kebijakan rezim Ba’thist tidak menyisakan apapun terhadap agama sebagai kekuatan efektif di negara itu. Dokumen pemerintah menunjukkan bahwa Pengadilan Revolusioner telah melewati setidaknya 258 hukuman mati.

Sadr sendiri ditempatkan di bawah tahanan rumah, dimana penguasa mencoba untuk membuat konsensus dengan beliau. Selama interogasi yang dilakukan Fadil Al-Barak (kepala badan keamanan) kepada Sadr pada bulan Agustus 1979, menuntut beliau untuk membuat pernyataan publik mengecam Revolusi Iran dan mendukung kebijakan Irak terhadap Iran. Ketika Sadr menolak keinginan atas tawaran itu penguasa menggunakan mediator yang baru yaitu Syekh Isa al-Khaqani untuk meminta Sadr  memenuhi setidaknya salah satu dari lima pilihan bagi kelangsungan hidupnya: pertama, menarik dukungannya terhadap Ayatullah Khomeini dan rezim Iran, kedua mengeluarkan pernyataan yang mendukung salah satu kebijakan pemerintah seperti nasionalisasi perusahaan minyak asing dan otonomi nasional bagi Kurdi, ketiga mengeluarkan fatwa melarang hubungan dengan partai Dakwah, keempat mencabut fatwa yang melarang bergabung dengan partai Ba’ts; kelima bersedia diwawancarai oleh sebuah surat kabar Arab Irak atau lainnya yang berafiliasi dengan rezim Irak. Pada saat itu Sadr menyatakan kepada sekretaris pribadinya al-Nu’mani, bahwa hari-harinya semakin sempit dan beliau memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan  pemerintah. Beliau mengatakan kepada al-Khaqani, mediator rezim Ba’ts itu bahwa :

Satu-satunya keinginan dalam hidup saya adalah menyelenggarakan pembentukan pemerintahan Islam di muka bumi. Karena telah dibentuk di Iran di bawah kepemimpinan Imam [Khomeini] tak ada bedanya bagiku apakah aku hidup atau mati karena mimpi saya tercapai dan harapan saya untuk mencapainya telah menjadi kenyataan, berkat pertolongan Allah.

Ketika kelompok-kelompok fundamentalis Islam, partai dakwah dan Organisasi Aksi Islam yang dipimpin oleh al-Syirazi dan saudara Mudarisi, melihat rezim melecehkan pemimpin mereka, mereka mengangkat senjata melawan pejabat Ba’ts. Mereka menyerang partai Ba’ts. Seorang ideolog Tariq Aziz (mantan menteri luar negeri) di Universitas Mustansiriyya yang seharusnya menyampaikan pidato kepada anggota partai Ba’ts di kalangan mahasiswa universitas untuk menyatakan kebijakan rezim terhadap Iran terluka dan  beberapa pengawalnya terbunuh karena bom  yang dilemparkan oleh aktivis muslim  .

Saddam Hussein, pada saat itu sebagai presiden baru republik Irak, selama mengunjungi rumah sakit dan menjenguk mereka yang terluka di Mustansiriyya, menyerukan balas dendam terhadap para pelaku. Taktik lama rezim tidak lagi meyakinkan sebab sikap anti terhadap aktifitas pemerintah oleh sebagian muslim semakin berkembang. Selain itu, Sadr, adalah simbol dari gerakan Islam, memiliki keluarga yang cukup terkenal di Irak. telahberhasil mengobarkan api perjuangan pada muslim Irak.  Pada tanggal 31 Maret 1980, Komando Dewan Revolusi mengesahkan undang-undang yang memuat hukum bagi semua anggota masa lalu dan sekarang dari partai dakwah atau organisasi afiliasinya, atau orang yang bekerja untuk tujuannya, sampai mati.

Baqir Sadr tidak meninggalkan medan perjuangan untuk mundur meski dalam keadaan apapun. Sementarabeliau berada di bawah tahanan rumah, beliau mengirimkan tiga pesan ke rekan-rekannya agar menyerukan kepada rakyat Irak untuk terus melawan rezim dengan cara apapun. Dalam pesan ini, beliau berbicara sebagai pemimpin mereka, dan melakukan tuntutan pada pemerintah dengan menyatakan bahwa  politik dan agama adalah hak bagi semua orang, Syiah dan Sunni, Arab dan Kurdi. Dia menantang kepemimpinan Ba’ts bahwa masyarakat hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk melakukan perlawanan dengan rezim. Dalam salah satu pesan ini, Sadr mengeluarkan ultimatum: menggulingkan rezim dan mendirikan pemerintahan Islam di tempatnya.

Ini adalah kewajiban setiap Muslim di Irak dan setiap warga Irak untuk melakukan apapun yang ia mampu, bahkan jika harus mengorbankan hidupnya, untuk menjaga jihad dan perjuangan demi menghapus mimpi buruk dari tanah Irak tercinta, untuk membebaskan diri cengkeraman yang tidak manusiwi, untuk menetapkan aturan yang benar, unik, dan terhormat berdasarkan Islam.

Pasukan keamanan datang kepada Sadr dan adiknya pada tanggal 5 April 1980 setelah menulis karya beliau “membela Revolusi Islam”, Sadr sekali lagi ditahan di markas besar National Security Agency di Baghdad, selanjutnya dipenjara, disiksa, dan dieksekusi oleh rezim Saddam Hussein. Telah diduga bahwa Sadr dibunuh dengan menggunakan sebuah paku besi dengan cara dipalu kepalanya kemudian dibakar. Tiga hari kemudian, tubuhnya dibawa kembali ke pamannya Muhammad Sadiq al-Sadr di Najaf untuk dimakamkan secara rahasia. Keberadaan Bint al-Huda, saudarinya tidak pernah diungkapkan oleh rezim, tetapi secara luas diyakini bahwa beliau juga telah dieksekusi Dua minggu kemudian, Ayatollah Khomeini mengumumkan eksekusi Sadr dan saudarinya dan meminta rakyat Irak dan angkatan bersenjata untuk menggulingkan rezim Ba’ts.

Berikut wasiat yang ditulis Muhammad Baqir Sadr  untuk memberikan semangat perjuangan bagi pendukungnya :

“Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya yang suci, serta para sahabatnya.

“Wahai rakyat Irak yang kucintai: saya katakan kepada kalian semua, suni dan Syiah, Arab dan Kurdi, pada saat momen yang pedih dari kehidupan jihad dan krisis kalian, karena krisis ini adalah masalah kita semua. Krisis ini adalah krisis rakyat Irak keseluruhan. Reaksi yang berani dan perjuangan harus menjadi kenyataan bagi seluruh rakyat Irak.

“Karena saya tahu eksistensi dan tanggung jawab saya kepada umat, saya telah melewatkan semua ini demi persaudaraan suni dan Syiah, Arab dan Kurdi. Saya adalah pembela pesan untuk persatuan Islam, keyakinan yang ada pada kita semua.

“Hidup dan pemikiran saya hanya untuk Islam, jalan kebebasan dan tujuan kita semua. Jadi saya bersama kalian semua, baik saudara suni ataupun Syiah. Saya bersama kalian seperti halnya saya bersama Islam, dan sebanyak obor besar yang kalian bawa untuk menyelamatkan Irak dari penindasan dan ketidakadilan.

“Para tiran dan sekutunya sedang mencoba untuk membuat saudara suni kita yang berbudi percaya bahwa problem kita adalah problem suni-Syiah. Mereka berusaha untuk memisahkan kita dalam perang melawan musuh bersama kita.

“Saya katakan kepada kalian, putra-putri Ali dan Husain, putra-putri Abu Bakar dan Umar, bahwa perjuangan ini bukanlah konflik antara pemerintahan suni dan Syiah. Pemerintahan suni yang diwujudkan dalam bimbingan khalifah, membuat Imam Ali selalu membelanya dalam perang melawan kaum murtad yang dipimpin oleh Abu Bakar. Kita semua harus membela bendera Islam apapun juga warna perbedaan kita.

“Setengah abad yang lalu, para ulama Syiah telah mengeluarkan fatwa untuk berjihad membela pemerintahan suni yang membawa lambang keislaman, dan ratusan ribu orang Syiah pergi ke medan perang dan mempersembahkan darah mereka demi mempertahankan Islam. Sekarang, pemerintahan yang ada bukanlah pemerintahan suni, melainkan orang-orang yang mengatasnamakan suni.

“Pemerintahan suni bukanlah pemerintahan seseorang yang bersumber dari orang tua suni. Pemerintahan suni adalah pemerintahan Abu Bakar dan Umar, yang telah ditantang oleh penguasa tiran Irak saat ini dalam semua aspeknya. Mereka menyalahgunakan Islam, mereka menyalahgunakan Ali dan Umar sekaligus memerangi Islam setiap hari dan setiap langkah mereka.

“Saudara-saudara dan anak-anakku dari Mosul, Basrah, Baghdad, Karbala, Najaf, Samarra, Kazimiah, Amarah, Kut, Sulaimaniah dan di manapun mereka berada…

“Saya berjanji bahwa diri saya untuk kalian, demi kalian semua, dan bahwa kalian adalah tujuan saya saat ini dan nanti. Kata-kata kalian harus satu, dan rencana kalian harus menyatu di bawah bendera Islam, demi menyelamatkan Irak dari mimpi buruk penguasa otoriter, membangun kebebasan, kemenangan, kecemerlangan melalui keadilan Islam dan dibalut dengan keluhuran budi manusia. Warga negara Irak dengan beragam mazhab dan rasa nasionalismenya akan merasakan bahwa mereka bersaudara dan akan memberikan kontribusi terhadap kepemimpinan negeri mereka, membangun rumah mereka dan mewujudkan gagasan-gagasan islami mereka dan memulai sejarah cemerlang mereka.”

 (Disarikan dari beberapa sumber)

 http://www.aimislam.com/resources/17-biography/311-biography-of-shaheed-muhammad-baqir-al-sadr.html

Satu komentar pada “MUHAMMAD BAQIR ASH-SADR”

Tinggalkan komentar